“Orang
miskin dilarang sakit, orang miskin juga dilarang sekolah”. Mungkin
itulah ungkapan yang tepat sebagai gambaran bagaimana sulitnya
mendapatkan pelayanan kesehatan dan mahalnya pendidikan bagi orang
miskin di negeri
ini. Ternyata, setelah hampir 63 tahun Indonesia Merdeka, apa yang
diamanatkan UUD 1945 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar
ditanggung oleh negara” masih sangat jauh dari harapan kita.
Orang
miskin selalu menjadi topik pembicaraan, dari masa ke masa, dan akan
lebih gencar dibicarakan ketika ada momen-momen seperti pilkada, atau
pemilihan umum. Ada yang berbicara dengan hati nuraninya ada juga yang
berbicara sekadar menebar pesona. Namun hasilnya tetap saja orang miskin
tetap miskin dan sulit mendapatkan pelayanan seperti pelayanan
kesehatan gratis, pendidikan gratis dan pelayanan lain dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya. Mengapa isu kemiskinan selalu menjadi isu yang
dibawa oleh para calon pemimpin baik daerah maupun pusat? Itu karena
memang kemiskinan di Indonesia masih cukup banyak. 41,5 Juta angka
kemiskinan Indonesia 2008 versi LIPI Indonesia. Maka sangat wajar sekali
ketika calon pemimpin menjanjikan bidang kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat miskin.
Perubahan
demi perubahan dari kebijakan pemerintah dalam menangani kesehatan
orang miskin, ternyata pemenuhan kebutuhan orang miskin terhadap
pelayanan kesehatan tidak berubah, tetap saja orang miskin mengalami
kesulitan dalam memperoleh pelayanan kesehatan, atau banyak pihak yang
mengkhawatirkan dampak perubahan kebijakan ini terhadap pelayanan
kesehatan untuk orang miskin.
Mahalnya
biaya periksa ke dokter, belum lagi biaya obatnya. Pasti akan
membengkak ketika ada berita mereka harus dirawat inap atau dioperasi.
Ketika radiologi, tes-tes laboratorium pendukung juga melambung
harganya, bahkan askeskin (asuransi kesehatan masyarakat miskin)
terakhir kemarin sudah dibatasi. Askeskin hanya bias diberlakukan di
beberapa rumah sakit, dan hanya untuk penyakit-penyakit tertentu saja.
Tingkat
kesehatan masyarakat yang tidak merata dan sangat rendah khususnya di
kantong-kantong pedesaan, mengakibatkan mereka sangat rentan terjangkit
wabah. Kasus yang melanda kabupaten paling timur Bali, Karangasem april lalu, adalah salah satu yang perlu mendapat perhatian semua pihak.
Khusus
untuk pelayanan kesehatan kalau kita amati pemerintah telah berupaya
membuat kebijakan berupa program untuk pelayanan kesehatan orang miskin
terutama sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Programnya sendiri
selama kurun waktu 10 tahun telah mengalami perubahan kalau tidak salah
lebih dari empat kali.
Mulai
dari social safety net (jaring pengaman sosial bidang kesehatan)
kemudian berubah menjadi program JPKPSBBM (Jaminan Pelayanan Kesehatan
akibat Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak), kemudian berubah menjadi
program Askeskin, dan terakhir diinstrudusir program Jamkesmas (Jaminan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat). Begitu pedulinya pemerintah terhadap
nasib masyarakat miskin, pemerintah menyediakan anggaran untuk program
pelayanan kesehatan dan selalu rajin melalui evaluasi terhadap pelayanan
kesehatan terhadap orang miskin. Pemerintah kelihatannya sangat peka
terhadap kebutuhan masyarakat begitu terlihat bahwa programnya belum
memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat miskin, maka programnya
segera diubah. Tampaknya seperti kata orang bijak, ”yang kekal itu
adalah perubahan” ini diterapkan betul-betul oleh pemerintah agar
masyarakat miskin tidak mengalami kesulitan dalam mencari pelayanan
kesehatan. Namun tetap saja masih banyak orang miskin sulit mendapatkan
pelayanan kesehatan.
Lebih Konseptual
Sudah tiba saatnya pemerintah harus
berpikir lebih konseptual menangani pelayanan kesehatan orang miskin.
Penanganan orang miskin tidak bisa hanya menjadi hak atau kewajiban
pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah pun harus bertanggung jawab
memberikan kontribusi untuk menangani orang miskin. Diperlukan satu
bentuk kesepakatan untuk membagi tanggung jawab masing-masing tingkat
pemerintahan dalam menangani orang miskin.
Jangan
ada yang lepas tangan, apalagi saling menyalahkan ketika ada
permasalahan pelayanan kesehatan orang miskin. Tidak bisa hanya saling
mengimbau. Seperti apa yang terjadi saat ini. Pemerintah daerah
mengimbau agar Depkes memperbesar anggarannya untuk warga miskin,
sementara pemerintah pusat mengimbau agar pemerintah daerah menyediakan
anggarannya dalam APBD-nya untuk melayani orang miskin. Harus diberi
tanggung jawab bagian mananya pemerintah pusat, bagian mananya
pemerintah daerah bertanggung jawab. Kalau saling menyalahkan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah jelas ini ada ketidakjujuran
dalam bertanggung jawab, ketidakjujuran dalam membuat kebijakan, bahkan
yang lebih parah lagi ketidakjujuran dalam pelaksanaannya. Maka
masyarakat miskin yang jadi korbannya dan tak akan pernah terjadi
perubahan pada orang-orang miskin. Kebijakan yang sering berubah-ubah
dapat dipastikan ketidakcermatannya dalam menganalisis permasalahan
publik. Ketidakcermatan dalam menganalisis ketersediaan, kemampuan
organisasi pelaksana dan sumber-sumber daya yang diperlukan dalam
pelaksanaan kebijakan program pelayanan kesehatan untuk orang miskin.
Ketidakcermatan ini bersumber pada ketidakjujuran dalam layanan
kesehatan bagi orang miskin.
Kalau
kita ingin terjadi perubahan nasib orang miskin, kalau kita ingin ada
kemajuan dalam layanan kesehatan bagi orang miskin, tidak ada solusi
yang cermat kecuali setiap kebijakan yang dibuat untuk pelayanan orang
miskin harus dengan hati yang jujur. Hentikan saling mencari kesalahan,
terutama memojokkan pelaksana, hentikan menghakimi pelaksana seperti
rumah sakit dan Dinas Kesehatan. Tetapi duduk bersama merembukkan dan
mencari permasalahannya dan pecahkan secara konseptual, berjangka
panjang, jangan hanya bersifat populis, demi menyenangkan orang miskin
sesaat, karena kita tidak bisa mengentaskan kemiskinan dalam jangka
pendek.
Kebijakan BLU (Badan Layanan Umum) menyakitkan Masyarakat Miskin
Jika
diberi pilihan, tidak ada satupun manusia didunia ini yang mau
dilahirkan sebagai orang miskin. Dalam gambar dengan latar belakang laut
Malaka terlihat anak-anak dari keluarga miskin di Desa Jaring Halus,
Kec, Secanggang, Kab.Langkat, Sumatera Utara sedang bermain di
pelataran. Mereka ini butuh masa depan yang lebih baik. Jika bukan kita,
lalu siapa lagi?
Kebijakan
Badan Layanan Umum yang diberlakukan pemerintah pada rumah sakit yang
dimiliki pemerintah merupakan kebijakan yang mungkin masih belum bisa
diterima semua pihak, termasuk masyarakat miskin. Seperti contoh yang
terjadi di RS Dr Soetomo Surabaya. Sebelum BLU maka biaya ambulans bagi masyarakat
miskin gratis, namun sekarang mereka harus membayar. BLU mengijinkan
rumah sakit tersebut untuk mencari modal sendiri. Jadi suasana komersil
sangat kental disana. Jika para pahlawan melihat yang terjadi di
Indonesia sekarang ini pasti mereka menangis. Karena sektor pendidikan
dan kesehatan dari dulu adalah sektor sosial, bukan sektor komersial dan
pemerintah wajib menjaminnya tanpa mengharapkan laba. Akan tetapi
setelah hampir 63 tahun merdeka, ternyata Indonesia menodai perjuangan
para pahlawannya dengan “mengucilkan” masyarakat miskin dalam hal
kesehatannya.
Ubah Budaya Konsumerisme Masyarakat
Dalam
keadaan ekonomi yang serba sulit ini, masyarakat sudah seharusnya
menyikapi dengan tepat. Sikap cerdas yang harus dilakukan ialah berpola pikir dan berpola tindak ekonomis. Strategi yang paling sederhana adalah melakukan penghematan di segala bidang, termasuk di bidang kehidupan
masyarakat. Pada masa sekarang ini, perlu adanya pembangunan budaya
termasuk didalamnya budaya kesederhanaan. Termasuk juga kesederhanaan
dalam bidang kesehatan.
Biaya
jasa dokter, khususnya dokter spesialis, masih belum terjangkau
sebagian masyarakat. Belum lagi harga obat yang cukup mahal dan semakin
lama pasti semakin menggila. Ditambah lagi beban biaya pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan patologis, dan
pemeriksaan penunjang lainnya yang akan semakin tidak terjangkau. Biaya
akan semakin melangit bila pasien divonis rawat inap atau operasi.
Solusi terbaik dalam menyikapi permasalahan itu membangun budaya mawas diri serta berpikiran jernih dan positif serta selalu dalam kesederhanaan. Sederhana bukanlah hidup
dalam kekurangan atau ketidakpunyaan. Akan tetapi sederhana adalah
selalu hidup dan memenuhi kehidupan secukupnya, tidak berlebihan. Secara sadar manusia harus menerima fakta dan fenomena alam bahwa sumber energi bumi akan berkurang dan akan semakin mahal. Oleh
karena itu sebisanya masyarakat Indonesia harus mulai belajar
mengurangi budaya konsumerisme demi menemukan identitas bangsa yang
semakin diperhitungkan di dunia Internasional.
Meskipun
sulit, dalam jangka panjang, manusia harus berinovasi dalam
berteknologi. Dalam jangka pendek, tindakan logis yang dapat dilakukan
adalah mawas diri untuk mengantisipasi terjadinya kenaikan harga
berbagai barang.
Mawas
diri adalah mengkaji ulang berbagai perilaku hidup boros dan tidak
efisien yang selama ini dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini
setiap orang pasti akan melakukan kalkulasi ekonomi yang sangat cermat
dalam setiap rupiah yang dikeluarkan.
Prioritas
pun harus disusun dengan teliti, berdasar kebutuhan pokok, kebutuhan
tambahan, atau kebutuhan konsumtif. Tidak terkecuali di bidang
kesehatan, secara tidak disadari selama ini dalam kehidupan sehari-hari
terjadi pemborosan dalam pembiayaan kesehatan.
Terus Kembangkan Budaya Perekonomian Mandiri Masyarakat
Tampak
fenomena yang menarik di dunia masyarakat. Yaitu dalam hal penghimpunan
dana mandiri demi membantu saudara-saudara mereka yang kurang mampu.
LSM banyak berkembang seperti LMI, Rumah Zakat Indonesia, Dompet Dhuafa,
dll. Meskipun seharusnya itu merupakan ktanggung jawab pemerintah untuk
menanggung nasib rakyatnya, akan tetapi hal itu sangat bermanfaat
positif. Banyak pihak yang telah merasakan keberadaan dari
lembaga-lembaga tersebut. Dan akhirnya semoga Indonesia semakin lebih
baik, dan tetap berpihak kepada rakyat. Yang perlu diingat bahwa sektor
pendidikan dan kesehatan merupakan sektor sosial, bukan komersial. Jadi
janganlah bebankan masyarakat untuk pemenuhan dua sektor kebutuhan
tersebut.
Referensi:
Judarwanto, Widodo. Efisiensi Pembiayaan Kesehatan. Jawa Pos Edisi Kamis 29 Mei 2008
Kemiskinan dan Penyelewengan Dana Kesehatan Orang Miskin. Sinar Harapan edisi Selasa 22 Maret 2005
Derita Orang Miskin dan Kegelisahan Arwah Pejuang Kemerdekaan. K-SEMAR Sumatera Utara. 3 Mei 2008
Pelayanan Kesehatan Puskesmas Masih Minim. Serambi Indonesia. Edisi: 14/04/2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar